Adat pernikahan di daerah aliran sungai Lubai adalah adat perkawinan/pernikahan Lubai karena sebagian besar penduduk yang berdiam di daerah ini adalah suku asli Lubai. Proses pernikahan adat suku Lubai atau jeme Lubai ada beberapa tahap yang harus dilaksanakan antara lain :
Pintean merupakan tradisi yang dilestarikan oleh suku Lubai (jeme Lubai), sub suku Ogan hingga saat ini. Lubai adalah nama salah satu suku yang terdapat di daerah Sumatra Selatan, suku yang banyak mendiami di sepanjang sungai Lubai. Sungai Lubai mengalir dari hulu dekat desa Lecah dang paling hilir desa Tanjung Kemala, bermuara ke sungai Rambang. Sungai Rambang bermuara ke sungai Ogan. Sungai Ogan bermuara ke sungai Musi di Kertapati, Kota Palembang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa melayu tidak jauh berbeda dengan bahasa Malaysia. Prinsip hubungan keturunannya adalah patrilineal, namun dalam perkawinan bisa terjadi system matrilineal tergantung dari persetujuan kedua belah pihak. Dan mayoritas suku Lubai menganut agama Islam.
Pengertian Pintean
Suku Lubai yang terdapat di desa Jiwa Baru kec. Lubai Kab. Muara Enim, prov. Sumatera Selatan merupakan penduduk pribumi. Salah satu tradisi yang masih dipertahankan adalah tradisi pintean. Tradisi pintean termasuk elemen penting dalam acara pra nikah dalam perkawinan adat suku Lubai. Bekendak artinya berkeinginan dan pintean artinya pintaan.
Pintean sebagaimana diungkapkan oleh tokoh adat desa Jiwa Baru adalah permintaan atau tuntutan sejumlah uang dan barang dari pihak gadis kepada pihak bujang yang akan meminangnya. Dengan kata lain pintean adalah persyaratan berbentuk materi yang diajukan oleh pihak perempuan yang harus dipenuhi oleh calon peminang untuk dapat menikahi pihak gadis yang dikehendaki.
Pintean sebagaimana diungkapkan oleh tokoh adat desa Jiwa Baru adalah permintaan atau tuntutan sejumlah uang dan barang dari pihak gadis kepada pihak bujang yang akan meminangnya. Dengan kata lain pintean adalah persyaratan berbentuk materi yang diajukan oleh pihak perempuan yang harus dipenuhi oleh calon peminang untuk dapat menikahi pihak gadis yang dikehendaki.
Pintean adalah barang yang diminta oleh calon mempelai perempuan kepada calon mempelai laki-laki yang ingin meminangnya, biasanya berupa barang ( emas, kosmetik, dan lain-lainya ). Definisi kedua ini, pintean dipandang sebagai barang atau hasil dari definisi pertama bukan sebagai sebuah aktifitas. Walaupun demikian, pintean dipahami dengan kedua pengertian tersebut tetap akan banyak berpengaruh dalam proses selanjutnya yaitu pinangan dan perkwainan kedua belah pihak.
Pintean hanya terjadi jika perempuan yang akan dilamar berasal dari suku Lubai, suku Rambang, suku Ogan. Karena itu, banyak laki-laki dari daerah lain atau suku lain jika menikahi perempuan suku Lubai maka pintean benar-benar diperhatikan. Hal demikian sudah menjadi praktek yang umum bukan hanya di Desa Jiwa Baru, tetapi juga di daerah dimana terdapat suku Lubai didalamnya.
Pihak Penerima Pintean
Tradisi pintean dalam perkawinan adat suku Lubai, sub suku Ogan yang berkembang di Desa Jiwa Baru, dari segi pihak yang meminta atau mensyaratkan adanya materi tidak hanya berasal dari perempuan yang akan dipinang, melainkan juga datang dari keluarga pihak perempuan yang akan dipinang semisal bapang (bapak), umak (ibu) atau deng behadeng (kakak dan adik) dari si gadis. Selain dari keluarga utama dari pihak perempuan, dalam realitasnya terkadang kerabat dekat juga ikut meminta kepada bujang yang menginginkan si gadis semisal, uwak, paman dan lain-lain. Semakin banyak pihak yang meminta atau menuntut maka semakin banyak pihak yang memperoleh materi dari pihak laki-laki dan belum tentu semua itu kembali kepada kepentingan kedua pasangan. Kenyataan yang demikian juga akan berimplikasi pada beban yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki yang akan semakin besar.
Pemberian yang bersifat materi oleh calon peminang yang ditujukan untuk pihak perempuan dipandang sebagai bekal dalam kehidupan rumah tangga yang akan dibina dan dibangun bersama pihak perempuan. Sedangkan pemberian yang ditujukan kepada pihak keluarga perempuan dipandang sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada keluarganya yang telah merawat dan membesarkan anak perempuannya. Disisi lain pemberian yang diterima pihak keluarga perempuan terkadang digunakan untuk resepsi perkawinan keduanya pada masa yang akan datang.
Selain itu tidak jarang permintaan yang datangnya dari pihak keluarga perempuan kemudian dikembalikan atau diganti dalam bentuk perlengkapan anak perempuanya semisal almari, ranjang dan kebutuhan lainya. Jika nantinya terjadi perpisahan maka harta tersebut yang didapat dari orang tuanya menjadi milik istrinya bukan milik bersama dengan suaminya.
Nilai dan Jenis Barang Pintean
Permintaan yang berbentuk materi yang diajukan oleh pihak keluarga si gadis kepada bujang pada umumnya tidak lepas dari bentuk emas, uang, dodol dan wajik/gule kelape, tetapi memungkinkan dalam bentuk lain tergantung kesepakatan pihak keluarga si gadis. Uang dan ataupun barang yang diminta oleh pihak keluarga perempuan dalam tradisi pintean di Desa Jiwa Baru tidaklah sedikit. Sebagaimana budaya yang berkembang hingga saat ini permintaan pihak keluarga perempuan jika dikalkulasikan menjadi satu dalam bentuk rupiah berkisar Rp. 10.000.000,00 - Rp. 35.000.000,00.
Harga atau jumlah yang ditentukan oleh pihak keluarga perempuan dalam tradisi Pintean bukanlah harga mati. Tetapi masih terdapat ruang egosiasi antara pihak keluarga perempuan dengan pihak keluarga peminang untuk menentukan besar kecilnya permintaan tersebut. Untuk mendapatkan kesepakatan bersama dalam menentukan jumlah besar kecilnya permintaan atau jenis barang yang diminta terkadang tidak cukup hanya bernegosiasi satu kali saja tetapi bisa berkali-kali.
Proses pertama ataupun kunjungan pertama biasanya ditujukan untuk silatuhrahmi dan mengutarakan niat bujang untuk meminta gadis serta menannyakan persyaratan yang diajukan oleh pihak keluarga perempuan untuk dapat melepaskan anaknya. Setelah diketahui syarat yang dikehendaki pihak keluarga perempuan, kemudian dilanjutkan tawar menawar antara perwakilan pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan dalam menentukan besar kecilnya pintean. Tawar menawar hanya terjadi jika memang salah satu pihak keberatan atas nilai yang ditentukan. Selain itu, pihak yang melakukan negosiasi dari pria tidak selalu dari keluargnya sendiri. Mereka mengutus orang yang dinilai mampu dan dipercaya oleh masyarakat sekitar semisal sesepuh desa atau pejabat desa setempat. Ayahan penulis Ibrahim bin kakek Haji Hasan ketika beliau masih hidup, sering diutus menjadi perwakilan keluarga untuk mententukan besar kecilnya pintean.
Jika calon peminang setuju dengan apa yang disyaratkan pihak kelauarga perempuan, maka peminangan antara laki-laki dan perempuan akan berlanjut. Jika negosiasi antara keluarga pihak permpuan dan laki-laki tidak menemukan titik mufakat maka hubungan keduanya tidak dapat dilanjutkan.
Faktor-faktor mempengaruhi Besar dan Kecilnya
Ada beberapa faktor yang menentukan besar kecilnya nilai permintaan dalam tradisi pintean di desa Jiwa baru diantaranya yaitu :
- Kecantikan perempuan yang akan dipinang. Artinya, perempuan tersebut banyak diminati oleh para bujang karena kecantikanya yang diakui oleh para pemuda desa atau yang dikenal dengan istilah bunga desa.
- Perawan atau Status Perkawinan Perempuan yang akan dipinang. Dua kriteria ini termasuk yang dipertimbangkan dalam menentukan besar kecilnya materi yang disyaratkan kepada pihak peminang. Persyaratan materi dari pihak janda relatif lebih ringan dan tidak sulit dibandingkan dengan pintean yang masih berstatus gadis.
- Status sosial keluarga pihak perempuan. Artinya, kedudukan pihak keluarga perempuan yang menduduki posisi penting pada pemerintah desa ataupun jabatan sosial lainya.
- Pendidikan gadis. Dalam kondisi gadis seperti ini ada sebagian masyarakat yang menggunakan logika dalam menentukan besarnya pintean. Misalnya SD di tempuh enam tahun, SMP empat tahun dan seterusnya mudian dikali biaya yang dikeluarkan oleh keluarga pada setiap jenjang. Semua kalkulasi tersebut menjadi nilai yang ditetapkan untuk calon peminang.
Relevansi Pintean dan Maling Lahi
Adanya tradisi pintean suku Lubai di Desa Jiwa Baru dengan standar yang relatif tinggi sering kali menyebabkan terjadinya maling lahi. Menurut ayahan penulis Ibrahim bin kakek Haji Hasan mengatakan :
Maling lahi atau maling lari adalah bentuk ketidaksetujuan orang tua terhadap perkawinan anaknya yang ditindak lanjuti bujang dan gadis dengan cara lari ke pejabat desa untuk dinikahkan. Pejabat Desa kemudian menanyakan pintean yang disetujui dari pihak gadis dan kesanggupan bujang untuk membayarkanya, setelah adanya kesepakatan antara kedua belah pihak maka pejabat desa mengundang orang tua dari pihak bujang dan gadis untuk menjemput kedua anaknya. Dalam pengertian lain, maling lahi atau yang dikenal kawin lari adalah bujang (pemuda) dan gadis (pemudi) lari bersama dari rumah untuk maksud perkawinan.
Maling lahi terjadi karena dua hal : pertama karena adanya ketidak-setujuan orang tua terhadap hubungan bujang gadis, kedua karena orang tua tidak menyadari terhadap perasaan anaknya yang sudah saling jatuh cinta sehingga mereka lari ke pejabat setempat.
Terkait dengan pintean, nilai yang disepakati bujang dan gadis bersama pejabat desa tidak bisa dirubah lagi oleh pihak keluarga. Karena ada perjanjian hitam diatas putih, yang dibuat pejabat desa setempat dengan persetujuan kedua belah pihak. Maling lahi sering terjadi karena orang tua tidak merestui hubungan anaknya dengan alasan-alasan tertentu. Tidak adanya kemampuan membayar uang dalam perkawinan tradisi pintean merupakan salah satu alasan terhadap penolakan restu pihak keluarga terhadap hubungan anaknya.
Demikian sekelumit kajian tentang pintean, tulisan ini kami tulis kembali berdasarkan sumber internet dan hasil wawancara kami dengan ayah kami Ibrahim bin kakek Haji Hasan, paman Sukardin bin kakek Wakif.
Salam hangat dari kami diperantauan...
Amrullah Ibrahim, S.Kom
Tidak ada komentar:
Posting Komentar