Halaman

Minggu, 06 September 2015

Hasil Observasi

Hasil penelitian pada desa Jiwa Baru

Penulis mengadakan penelitian pada saat pulang kampung ke desa Jiwa Baru tanggal 23 Juli 2007. Adapun yang dijadikan nara sumber penelitian ini adalah Kanda Haji Iziddin bin Wak Suki, Manda Sukardin bin Kakek Wakif, Manda Yahmun bin Kakek Muhammad Soleh. Metode penelitian menggunakan wawancara dengan para nara sumber.

Desa Jiwa Baru merupakan sebuah desa kecil yang terletak di kec. Lubai, kab. Muara Enim, prov. Sumatera Selatan. Mayoritas penduduknya beragama Islam dan umumnya bermatapencaharian tani berkebun Karet dan berladang Padi. Namun banyak juga penduduk desa ini yang bekerja ke luar desa dan untuk meningkatkan pendapatan keluarganya mereka mempunyai usaha kecil-kecilan atau disebut pedagang rumahan. 

Sistem kekerabatan di desa ini lebih bersifat mengikuti sistem kekerabatan yang ada di Sumatera Selatan yaitu berdasarkan prinsip keturunan unilateral ini juga disebut unilineal yang silsilah keturunannya melalui garis kebapakan saja (patrilineal) atau garis keibuan saja (matrilineal). Garis kekerabatan semacam ini disebut klan.

Upacara pernikahan/perkawinan sama halnya dengan upacara adat suku Ogan dikarenakan Lubai merupakan sub suku Ogan. Prosesi pernikahan/perkawinan diawali lamaran disebut dengan madukan rasan, mengantarkan permintaan diakhiri dengan akad nikah. Dalam hal warisan, warisan akan jatuh ke pihak anak laki-laki. Sedangkan rumah jika keluarga itu memiliki rumah akan jatuh ke anak laki-laki yang tertua atau dalam bahasa Lubai disebut anak jantan tue

Hasil perkawinan akan membentuk keluarga inti yang berdiri sendiri, tetapi tidak tinggal dalam satu rumah melainkan hidup berumpun atau berkelompok. Adat menetap sesudah pernikahan akan menetap disekitar kediaman kaum kerabat suami. Perkawinan di desa ini umumnya monogami. Bentuk kekerabatan yang lain adalah sanak-keluarge, kelompok kekerabatan yang terdiri atas satu keturunan dari seorang nenek moyang karena umunya setiap penduduk ada ikatan saudara sehingga akan terlihat sekali ciri kekerabatan di desanya. Selain penduduka asli juga terdapat beberapa pendatang yang menyewa atau mengontrak rumah namun masih terbilang jarang.

Kekelompokan di desa ini mempunyai tradisi tolong-menolong atau gotong royong yang sangat tinggi. Bentuk gotong royong tersebut akan terlihat dalam hal pembuatan rumah salah seorang warganya. Hampir seluruh anggota masyarat akan secara suka rela membantu tanpa mengaharapkan imbalan. Kemudian dalam peristiwa penting kehidupan keluarga seperti pernikahan, kematian, dan juga khitanan anak ciri kegotongroyongan masyarakat desa akan sangat terlihat. Mereka biasanya berkumpul saling membantu mempersiapkan segala sesuatunya jika salah satu dari mereka mengadakan acara atau hajat. 

Adapun upacara adat atau keagamaan yang rutin atau sering dilaksanakan seperti : 1. Mauludan Nabi Muhammad Sholallahu ‘alaihi wasallam, biasanya masyarakat akan menggelar kegiatan ini di Masjid desa. 2. Upacara kematian, mereka selalu mengadakan Tahlillan atau peringatan 3 hari, 7 hari, 40 hari sampai dengan seribu harinya.

Kalau kita berbicara tentang masyarakat Lubai dan Kebudayaannya, maka sama halnya dengan berbicara tentang banyaknya masyarakat lain di Sumatera Selatan, kita tidak dapat mengabaikan perubahan yang telah menghilangkan homogenitas yang pernah ada. Apa yang dahulu dianggap sebagai daerah kebudayaan Lubai, sekarang mungkin telah banyak kemasukan unsur lain. Tidak setiap penduduknya dapat dianggap sebagai pemangku kebudayaan Lubai, akan tetapi sebaliknya tidak setiap orang yang dilahirkan oleh orangtua Lubai dapat disebut pendukung kebudayaan Lubai, terutama jika mereka dibesarkan diluar daerah kebudayaan Lubai. Daerah asal kebudayaan Lubai tradisional adalah kira-kira seluas daerah kecamatan Lubai kabupaten Muara Enim, provinsi Sumatera Selatan. Tetapi dalam pandangan orang Lubai sendiri, daerah kebudayaan Lubai adalah orang-orang yang berdomisili sepanjang Daerah Aliran Sungai Lubai. 

Pada umumnya orang Lubai berusaha menghubungkan asal-usul mereka dengan suatu tempat tertentu, yaitu dari Kampung Persa di Muara Lubai dekat Sungai Rambang. Hal ini mungkin dapat dihubungkan dengan dongeng Puyang Tujuh Serampu ” Puyang tujuh bersaudara, 6 laki-laki dan 1 prempuan. Dalam kontek legenda tadi, dapat dihubungkan dengan desa-desa tua di Lubai sebanyak 7 desa yaitu : 1. Desa Tanjung Kemala, 2. Desa Gunung Raja, 3. Desa Kurungan Jiwa, 4. Desa Pagar Gunung, 5. Desa Beringin, 6. Desa Pagar Dewa, 7. Desa Karang Agung. 

Demikian kajian singkat ini, semoga bermanfaat bagi pembaca.

Salam hangat dari kami diperantauan...
Amrullah Ibrahim, S.Kom

Tidak ada komentar:

Posting Komentar